KABUPATEN SOLOK-FokusNusa.com
Kabupaten Solok terus menunjukkan produktivitas tinggi dalam produksi bawang merah. Berdasarkan data Dinas Pertanian Kabupaten Solok, luas tanam tahun 2025 mencapai 13.573 hektare dengan total produksi 214.306 ton dan produktivitas rata-rata 16,40 ton per hektare.
Dari total produksi itu, kebutuhan lokal hanya 5,32 persen, sementara surplus mencapai 94,68 persen. Surplus bawang merah Solok dipasarkan ke berbagai daerah, seperti Sumatera Utara, Jambi, Aceh, Palembang, dan Kepulauan Riau.
Meski hasil panen melimpah, petani masih menghadapi tantangan besar, terutama pada biaya produksi dan perubahan iklim. Rata-rata biaya budidaya mencapai Rp108,21 juta per hektare, dengan hasil sekitar 14 ton dan harga jual di tingkat petani Rp15.000 per kilogram.
“Biaya produksi cukup tinggi, ditambah risiko perubahan iklim yang sulit diprediksi. Ketika curah hujan berkurang, pertumbuhan bawang terhambat. Sebaliknya, kalau hujan berlebih, umbi bisa membusuk dan rentan jamur,” ujar Plt Kepala Dinas Pertanian Kabupaten Solok Imran Syahrial, baru-baru ini, di sela kunjungan Bank Indonesia (BI) Pronvisi Sumatera Barat (Sumbar) ke petani.
Data Dinas Pertanian mencatat, produksi bawang merah di Solok mencapai 22.183,98 ton pada Oktober, meningkat menjadi 23.037,21 ton pada November, dan 19.364,92 ton pada Desember 2025. Untuk cabai merah, produksi juga naik dari 2.772,30 ton di Oktober menjadi 4.796,86 ton di Desember.
Sentra panen utama berada di Kecamatan Lembah Gumanti, Danau Kembar, Lembang Jaya, dan Pantai Cermin.
Kondisi pascapanen juga menjadi perhatian. Proses pengeringan dan penyortiran belum optimal, membuat kadar air bawang merah Solok relatif tinggi sehingga daya simpannya lebih pendek dibandingkan bawang dari daerah lain.
Menanggapi kondisi tersebut, Bank Indonesia (BI) Perwakilan Provinsi Sumatera Barat turun langsung ke Nagari Sungai Nanam, Kecamatan Lembah Gumanti, untuk memantau kondisi lapangan dan mendukung efisiensi pertanian. BI menyerahkan alat Rapid Soil Check sebagai bagian dari dukungan terhadap petani dalam penerapan smart farming.
Deputi Kepala Perwakilan BI Sumbar Andy Setyo Biwado menjelaskan, alat tersebut membantu petani membaca unsur hara tanah secara cepat dan akurat, termasuk nitrogen, fosfor, kalium, pH, suhu, dan kelembapan.
Hasil dari deteksi alat ini sendiri bisa diakses melalui ponsel pintar agar pemupukan lebih tepat dan efisien.
Langkah BI ini diharapkan membantu petani menekan biaya budidaya, meningkatkan efisiensi, dan menjaga produksi tetap stabil. Upaya ini juga menjadi bagian dari sinergi BI dengan pemerintah daerah melalui Tim Pengendalian Inflasi Daerah (TPID) Sumbar. (003)